Entri Populer

Sabtu, 27 November 2010

Cerita

Jika setiap manusia pernah tinggal seorang diri di dalam rahim dan kelak juga sendiri saat dalam kubur, mengapa kesendirian sering membuat resah? Apakah karena kesendirian acapkali membuat seseorang menjadi salah tingkah? Tengoklah misalnya, Mr. Walt Kowalski, seorang veteran US army di film Gran Torino. Di masa tuanya ia tinggal menyendiri, ditemani Daisy (maaf, ini nama anjing beliau) dan mobil tuanya Ford Gran Torino. Anak dan cucu Mr. Kowalski lebih suka tinggal menjauh sembari berharap episode hidup Mr Kowalski segera berakhir dan warisan segera dibagi. Adapun kegiatan sehari-hari Mr Kowalski ini, mengelap mobil (yang tak pernah dikendarainya) sampai licin mengilap, kemudian memandangnya dengan takjub sambil minum bir dingin dan mengobrol dengan Daisy.

Apakah Mr. Kowalski kesepian dalam kesendiriannya? Benarkah kesendirian sewarna dengan kesepian? Mari kita melihatnya dari kacamata Ushman, seorang pedagang permadani asal Iran di novel berjudul Rug Merchant, karya Meg Mullins. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh PT Bentang Pustaka, Mei 2009. Bermodal ‘kartu hijau’ hasil undian, Ushman berangkat ke Amerika, meninggalkan Farak, istrinya, dan usaha permadani warisan keluarganya. Ia menyuruk di salah satu sudut kota New York, membuka toko permadani, dan perlahan mulai bisa menjejakkan kakinya dengan kokoh di kota super sibuk itu. Ketekunannya menjalin relasi dengan para pelanggan sejalan dengan kesungguhannya memelihara permadani impian di benaknya: membawa Farak ke Amerika dan memulai hidup sejahtera di sana. Awalnya, kesendirian tidak menjadi masalah bagi Ushman selama dia bisa merebahkan badannya di atas permadani impiannya itu. Sampai dia mendengar kabar istrinya itu menjalin hubungan dengan seorang pedagang dari Turki. Farak pun terang-terangan mengakuinya.


Dari sinilah Ushman harus mengakui bahwa rajutan kisah hidupnya tak seindah pola-pola geometris permadani persia yang dijualnya. Kesepian mulai membayang saat impian di benaknya mulai berangsur pudar. Semakin kuat dia mempertahankan impiannya justru semakin terang gambaran kenyataan di mata sadarnya bahwa rumah tangganya bersama Farak telah hancur berantakan, menyisakan rongga kosong dalam hatinya. Di saat itulah Ushman bertemu Stella, gadis Amerika yang tengah menghadapi ‘kekosongannya’ sendiri: tak ada pesta dan kawan di hari ulang tahunnya yang ke sembilanbelas.

Usia Stella itu jelas terpaut jauh darinya, dan sudah pasti ia memiliki latar budaya yang berbeda dengan Ushman. Stella yang cerdas dan terbuka tak mendapatkan masalah yang berarti ketika hubungannya dengan Ushman semakin mendalam dan emosional. Sebaliknya, Ushman selalu diliputi keraguan dan gamang menyikapi hubungan mereka itu. Ushman merasa ‘tidak pantas’ mendapatkan Stella. Dia juga melihat cinta Stella kepadanya tumbuh di dalam diri Stella yang masih belia. Ada kekhawatiran suatu saat Stella akan meninggalkannya. ‘Bagian dari Stella yang belum berkembang adalah sama dengan bagian dari Stella yang mencintainya.... Saat Stella tumbuh dewasa, rasa hormat Stella untuknya akan layu...’

Hubungan mereka makin runyam dibayangi relasi Ushman dengan Ny. Roberts, salah seorang pelanggan setia Ushman. Bagi Ushman, Ny Roberts ‘hanyalah’ pelanggan kaya raya dengan selera yang sulit dipuaskan dan ‘keinginan aneh terhadap segala sesuatu yang tidak bisa dimiliki’ yang tak lain bentuk pelarian dari kesepian Ny Roberts sendiri. Tiga orang dengan kekosongan yang berbeda bertemu dan menuliskan kisahnya masing-masing layaknya pola warna-warni di atas hamparan permadani. Menjadi menarik ketika pola itu saling bersentuhan, berkelindan dan mempertahankan iramanya sendiri.

Ketika hubungannya dengan Stella berakhir, Ushman melanjutkan hidup tanpa harus merasa ada yang kosong. ‘Ti penso sempre (aku selalu memikirkanmu)’, kata Stella sebelum menutup telepon dia pergi. Dan Ushman, ‘meskipun air mata mengalir di pipinya, ia tersenyum’, seakan memaklumi bahwa relasi itu memang harus berhenti seperti ujung pola-pola permadani.

Novel ringan dengan plot sederhana ini diolah dengan lincah oleh Meg Mullins melalui dialog yang kadang tak terduga dan sesekali juga jenaka. Interaksi dua budaya menjadi momen yang menarik ketika masing-masing mulai menemukan titik persamaan. Di situs pribadinya, Mullins menceritakan bagaimana pemahamannya terhadap karakter Ushman didasari atas keyakinannya bahwa manusia selalu punya kesamaan satu dengan lainnya. ‘The beauty of humanity is that none of us is so very different at our core. As I was writing about Ushman, I never felt he was unlike me. I certainly have a great respect for the vast differences in our cultures and our backgrounds, even our genders, but I loved discovering similarities, too. Love and pain, loneliness and desire are universal experiences and we are all linked by them.’ Kesamaan itu, apa pun bentuknya, barangkali memang bisa menjadi alasan paling mendasar untuk tidak perlu merasa sendiri dan sepi di tengah lingkungan manusia lain, di mana pun di bumi ini...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar