Entri Populer

Rabu, 29 Desember 2010

Masuknya Islam ke Indonesia


2 02 2007
Mula kehadiran Islam di Indonesia telah cukup banyak mendapat perhatian dan telaah para pemikir dan sejarawan dari berbagai kalangan. Berbagai pendapat dan teori yang membincang persoalan tersebut membuktikan bahwa tema Islam memang menarik untuk dikaji terlebih di negeri yang dikenal mayoritas penduduknya muslim. Maka tak berlebihan, studi mengenai latar historis dan proses perkembangan selanjutnya dari agama ini –sehingga beroleh tempat dan mampu mengikat begitu banyak pengikut di wilayah ini– cukup punya nilai guna memahami dan memaknai lebih dalam dinamika keberagamaan Islam dalam konteks kontemporer di Indonesia.
Lokus diskusi mengenai kedatangan Islam di Indonesia sejauh ini berkisar pada tiga tema utama, yakni: tempat asal kedatangannya, para pembawanya, dan waktu kedatangannya. Hal lain yang juga patut diperhatikan adalah dimensi proses dari interaksi awal dan lanjutan antara Islam dan penduduk lokal berikut konstruk kepercayaan atau agama yang telah ada sebelumnya.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar: Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M. Kedua, teori Makkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M. Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Teori tersebut jika ditelaah lebih jauh sesungguhnya memiliki variasi pendapat yang cukup beragam. Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Fatimi menyatakan bahwa bukti epigrafis berupa nisan yang dipercaya diimpor dari Cambay – Gujarat sebenarnya bentuk dan gayanya justru lebih mirip dengan nisan yang berasal dari Bengal. Sementara Morison lebih mempercayai bahwa Islam di Indonesia bermula dari pantai Coromandel. Sebab menurutnya, pada masa Islamisasi kerajaan Samudera dimana raja pertamanya (Malik al-Saleh) wafat tahun 1297 M, saat itu Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Baru setahun kemudian, kekuasaan Islam menaklukkan Gujarat. Jika Islam berasal dari sana, tentunya Islam telah menjadi agama yang mapan dan berkembang di tempat itu. Adapun bukti epigrafis dari Gujarat atau Bengal, tidaklah serta merta menunjukkan bahwa agama Islam juga ‘diimpor’ dari tempat yang sama.
Sedangkan tentang teori Islam Indonesia berasal langsung dari Makkah (yang antara lain dikemukakan oleh T.W. Arnold dan Crawford) lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya. Dan di wilayah itupun telah tumbuh komunitas muslim lokal. Sementara variasi pendapat lain dikemukakan oleh Keijzer bahwa Islam nusantara berasal dari Mesir berdasar kesamaan madzhab (Shafi’i). Sedangkan Niemann dan de Hollander mengemukakan teori Islam nusantara berasal dari Hadramaut (wilayah Yaman).
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Pada konteks ini menarik jika pendapat Naguib al-Attas, seorang pendukung teori Arab, dihadirkan sebagai komparasi. Dalam mengkaji Islam nusantara, al-Attas lebih tertarik untuk mendasarkan argumentasinya pada bukti-bukti konseptual dan literatur, dibanding bukti-bukti epigrafis sebagaimana para pemikir sebelumnya. Dalam “teori umum tentang Islamisasi nusantara”-nya tersebut al-Attas menyebutkan bahwa karakteristik internal Islam di nusantara lebih cenderung berasal langsung dari Arab. Dari berbagai literatur Islam yang beredar di nusantara sebelum abad ke-17 M, tak satupun pengarangnya adalah orang India. Bahkan sebagian penulis yang dipercayai beberapa sarjana Barat sebagai berasal dari India atau Persia, jika ditelisik ternyata berasal dari Arab baik etnis maupun kultural. Adapun mengenai bukti epigrafis Moquette, al-Attas menolaknya, dan menyatakan bahwa kemunculan nisan-nisan dari India tersebut hanya karena faktor kedekatan lokasi saja (dalam konteks perdagangan).
Selanjutnya tentang proses Islamisasi di nusantara, menarik untuk diperhatikan beberapa pendapat berikut: Pertama, teori perkawinan. Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa kesuksesan Islamisasi di nusantara lebih karena peran para pedagang muslim. Digambarkan, bahwa seraya berdagang mereka juga menyebarkan Islam. Di antaranya dengan cara melakukan perkawinan dengan perempuan lokal sehingga terjadi konversi agama dan terbentuklah lokus-lokus komunitas muslim setempat. Selanjutnya, mereka juga berusaha menikahi perempuan bangsawan dengan harapan anak keturunannya akan beroleh kekuasaan politik yang dapat dipakai untuk menyebarkan agama Islam. Segaris dengan pemikiran ini, J.C. van Leur mengemukakan adanya motif ekonomi dan politik dalam persoalan konversi penduduk atau penguasa lokal di nusantara. Menurutnya, penguasa pribumi yang ingin masuk dan berkembang dalam perdagangan internasional kala itu yang terbentang dari Laut Merah hingga Laut Cina akan cenderung menerima Islam karena dominasi kekuatan muslim di sektor itu. Di samping pula untuk membentengi diri dari jejaring kekuasaan Majapahit.
Teori ini dikritik oleh A.H. Johns, yang menurutnya, patut diragukan bahwa para pedagang akan mampu meng-Islam-kan penduduk lokal dalam jumlah yang signifikan. Bukankah ditengarai bahwa mereka telah hadir sejak abad ke-7 atau ke-8 M di nusantara, tetapi nyatanya, Islamisasi yang signifikan justru tampil di sekitar abad ke-12 M. Johns lalu mengajukan teori Sufi-nya. Menurutnya, Islamisasi di nusantara sukses lebih didorong oleh peran para sufi pengembara yang memang orientasi hidupnya diabdikan untuk penyebaran agama Islam. Dan pada masa-masa massifikasi konversi Islam itulah para sufi banyak hadir di nusantara. Johns dalam mengelaborasi teorinya juga mengambil pemikiran tentang cara perkawinan dengan keturunan penguasa lokal sebagai pendukung proses Islamisasi. Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Schrieke bahwa faktor pendorong yang menimbulkan gelombang besar masuk Islam di nusantara adalah ancaman kekuasaan kolonial dan misi gospel Kristen yang agresif tampaknya sulit diterima, karena dalam sejarah tercatat bahwa bangsa Barat Kristen tiba di nusantara baru sekitar tahun 1500-an. Sementara Islamisasi di nusantara telah berlangsung secara signifikan jauh sebelumnya yakni sejak abad ke-12 atau ke-13 M.
Akhirnya, mari disimak beberapa simpulan yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra berikut ini: “Pertama, Islam dibawa langsung dari Arabia; kedua, Islam diperkenalkan oleh para guru dan penyiar “professional” – yakni mereka yang memang secara khusus bermaksud menyebarkan Islam; ketiga, yang mula-mula masuk Islam adalah para penguasa; dan keempat, kebanyakan para penyebar Islam “professional” ini datang ke Nusantara pada abad ke-12 dan ke-13.” Jadi dengan mempertimbangkan berbagai uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa mungkin benar Islam memang telah diperkenalkan awal mula sejak abad-abad pertama Hijriyah (sekitar abad ke-7 M), namun akselerasi persebaran Islam secara nyata baru terjadi sekitar abad ke-12 M dan masa-masa selanjutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar