Entri Populer

Rabu, 08 Desember 2010

sifat bagi Allah

Sifat al ‘Uluw merupakan salah satu dari sifat -  sifat Dzatiyah Allah Azza wa Jalla yang tidak terpisah dariNya. Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala ini sebagaimana sifat  Allah Subhanahu wa Ta’ala  lainnya diterima dengan  penuh keimanan dan pembenaran oleh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Sifat Allah ini ditunjukkan oleh sama’ (Al Qur'an dan As Sunnah), akal, dan fitrah. Telah mutawatir dalil - dalil yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah tentang  penetapan ketinggian Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas seluruh makhlukNya.
Di antara dalil dari Al Qur’an As Sunnah tentang sifat al‘ Uluw adalah :

 1. Firman Allah Azza wa Jalla "Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi  bersamamu, sehingga dengan tiba - tiba bumi itu  bergoncang.” [Al-Mulk : 16]

 2. Firman Allah Azza wa Jalla "Mereka takut kepada Rabb mereka yang berada di atas  mereka dan mereka melaksanakan apa yang  diperintahkan (kepada mereka).” [An Nahl : 50]

 3. Firman Allah Azza wa Jalla "Sucikanlah Nama Rabb mu Yang Mahatinggi.” [Al A’laa : 1]

 4. Firman Allah  Azza wa Jalla "Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah kemuliaan itu semuanya. KepadaNya lah naik perkataan -  perkataan yang baik dan amal yang shalih  dinaikkanNya. Dan orang -  orang yang merencanakan  kejahatan bagi mereka adzab yang keras, dan rencana  jahat mereka akan hancur.” [Faathir : 10]

 5. Pertanyaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang budak wanita :  "Dimana Allah ?” Ia menjawab : “Allah itu di atas langit.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Siapa aku ?” “Engkau adalah Rasulullah,” jawabnya.  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Merdekakanlah ia, karena sesungguhnya ia seorang  Mukminah.” [1] Terdapat dua permasalahan yang terkandung di dalam hadits ini :
Pertama, disyari’atkan untuk bertanya kepada seorang  Muslim : “Di mana Allah ?”
Kedua, jawaban yang ditanya adalah : “Di (atas) langit” Maka, barangsiapa yang memungkiri dua masalah ini,  berarti ia memungkiri al Mushthafa (Nabi Muhammad  Shallallahu ‘alaihi wa sallam). [2]

 6. Hadits Tentang Kisah Isra’ dan Mi’raj. Yaitu sebuah hadits yang mutawatir, sebagaimana  disebutkan oleh sejumlah ulama antara lain Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullah. Beliau berkata : [3] “Di dalam beberapa redaksi hadits menunjukkan kepada  ketinggian Allah di atas ‘ArsyNya, di antaranya  ungkapan : "Lalu aku dinaikan ke atasnya, maka berangkatlah Jibril bersamaku hingga sampai ke langit yang terendah ( langit dunia), ia pun mohon izin agar dibukakan (pintu  langit).’ [4]
Kemudian naiknya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  hingga melewati langit ketujuh dan berakhir pada sisi  Rabbnya, lalu didekatkan oleh Rabb kepadaNya dan  difardhukan shalat atasnya.”

 7. Jawaban Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  kepada Dzul Khuwasyirah :  "Apakah kalian tidak mempercayaiku, sedangkan aku  dipercaya oleh Allah yang ada di atas langit ?” [5]

Ibnu Abil ‘Izz rahimahullah berkata : “Ketinggian Allah di samping ditetapkan melalui Al Qur’an dan As Sunnah  ditetapkan pula melalui akal dan fitrah. Adapun  tetapnya ketinggian Allah melalui akal dapat  ditunjukkan dari sifat kesempurnaanNya. Sedangkan  tetapnya ketinggian Allah secara fitrah, maka  perhatikanlah setiap orang yang berdo’a kepada Allah  Azza wa Jalla pastilah hatinya mengarah ke atas dan kedua tangannya menengadah, bahkan barangkali  pandangannya tertuju ke arah yang tinggi. Perkara ini  terjadi pada siapa saja, yang besar maupun yang kecil,  orang yang berilmu maupun orang yang bodoh, sampai- sampai di dalam sujud pun seseorang mendapat  kecenderungan hatinya ke arah itu. Tidak seorang pun  dapat memungkiri hal ini, dengan mengatakan bahwa  hatinya itu berpaling ke arah kiri dan kanan atau ke  bawah.” [6]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama' ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy Syafi'i, PO BOX 7803 /JACC  13340 A. Cetakan  Ketiga Jumadil Awwal 1427 H/Juni 2006 M]
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat Muslim (no. 537), Abu ‘Awanah (II/ 141-142), Abu Dawud (no. 930) , an Nasa'i (III/14-16), ad Darimi (I/ 353-354), Ibnul Jarud dalam al Muntaqaa’ ( no. 212), al Baihaqi (II/ 249-250)  dan Ahmad (V/ 447-448), dari Sahabat Mu’awiyah bin Hakam as Sulami  Radhiyallahu ‘anhu
[2]. Lihat Mukhtasharul ‘Uluw (hal. 81) oleh Imam adz Dzahabi, tahqiq Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.
[3]. Lihat Ijtimaa’ul Juyuusy al Islaamiyyah (hal. 55) oleh Imam Ibnu Qayyim al Jauziyyah, tahqiq Basyir  Muhammad ‘Uyun.
[4]. HR. Al Bukhari (no. 3887) dan Muslim (no. 164 (264) ) dari Sahabat Malik bin Sha’sha’ah Radhiyallahu 'anhu.  Lihat lafazh hadits ini selengkapnya pada pembahasan  ke-25 : Isra’ dan Mi’raj di halaman 254.
[5]. HR. Al Bukhari (no. 4351), Muslim (no. 1064)  dari  Sahabat Abu Sa’id al Khudri.
[6]. Diringkas dari Syarhul ‘Aqiidah ath Thahaawiyyah ( hal. 389-390), takhrij dan ta’liq Syu’aib al Arnauth dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Muhsin at Turki, lihat juga kitab  Manhajul Imam asy Syafi’i fii Itsbaatil ‘Aqiidah (II/347).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar