Entri Populer

Minggu, 02 Januari 2011

seputar tahun baru

APA makna tahun baru bagi kita, tatkala memasuki 2011? Tahun lalu, seorang seorang teman yang kebetulan berprofesi sebagai artis dan MC di Jakarta mengatakan bahwa dia baru saja panen, dan mengajak saya makan-makan di kawasan Kemang. Teman lain yang tinggal di sebuah kawasan di gang sempit menyebutkan, dia sedang dalam dilematis dengan dua pilihan: menyediakan uang dua juta rupiah atau keluar bersama keluarga dari  rumah  kontrakan. Ada pula ketakutan, dengan memasuki tahun  2011 semakin dekat ke tanggal 12 Desember 2012. Kiamat! Ya, seperti diramalkan bangsa Maya sesuai kalender mereka. Menurut riwayat, tahun baru pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM tidak lama setelah Julius Caesar dinobatkan sebagai Kaisar Roma. Waktu itu di negara tersebut penanggalan yang dipakai ialah penanggalan tradisional Romawi yang telah diciptakan sejak abad ketujuh SM. Kemudian Caesar memutuskan menggantikannya dengan tahun Masehi, yang diambil tahun lahirnya Nabi Isa Al Masih.

Kalender itu pun dibuat sedemikian rupa-seperti yang kita kenal sekarang. Dia dibantu oleh Sosigenes, seorang ahli astronomi dari Iskandariyah, Mesir. Pedoman penanggalan baru itu disusun dengan mengikuti revolusi matahari, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Mesir. Satu tahun dalam penanggalan baru itu dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM sehingga tahun 46 SM dimulai pada 1 Januari. Caesar juga memerintahkan agar setiap empat tahun, satu hari ditambahkan kepada bulan Februari, yang secara teoritis bisa menghindari penyimpangan dalam kalender baru ini, sengga secara periodik bulan Februari memiliki 29 hari, bukan 28 hari. Dalam penyusunannya terjadi beberapa perubahan, terutama menyangkut nama bulan, sebagaimana yang kita kenal sekarang.

Perubahan tersebut misalnya, menjelang Caesar terbunuh di tahun 44 M, dia mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius atau Juli. Kemudian, nama bulan Sextilis diganti dengan nama pengganti Julius Caesar, Kaisar Augustus, menjadi bulan Agustus. Tradisi menyambut tahun baru kini telah menembus sampai ke desa-desa akibat peran yang dimainkan media massa terutama televisi. Tahun lalu, suara terompet melintas batas-batas demografis dan sosiologis. Cahaya bunga api menyinari pematang sawah dan tebat ikan. Suara mercon tidak hanya di seputar jalan-jalan Ibu Kota dan kota besar, tetapi sampai Bukit Kemukus di Sragen atau Sarahraja di lereng Bukit Barisan.

Tapi sesungguhnya pergantian tahun-seperti pergantian 1010 ke 2011- tidak sekadar bunyi mercon dan warna warni kembang api yang menghiasi ruang malam kota-kota metroplitan. Atau lantunan musik di hotel-totel berbintang dengan penyanyi yang sedang mendulang duit. Bukan pula sekadar prosesi renungan yang dilaksanakan oleh sebuah komunitas atau organisasi kader. Bukan pula refleksi untuk mengukur maju mundurnya bangsa. Bukan sekadar menyebutkan bahwa kita bisa mengalahkan Malaysia dengan angka 2-1 di pertarungan akhir, karena sebenarnya kita kalah dan tak  berhasil mengondol piala. Malaysia--tempat jutaan saudara kita menjadi kuli--memang berhasil jadi karena melantak kita di Bukit Jalil dengan angka telak 3-0.

Tahun baru bukan cuma pergantian kalender. Tahun baru adalah kecerahan, kemuraman, kekhawatiran, harapan, dan juga keceriaan. Tapi setiap pergantian tahun selalu saja ada cerita. Paling tidak ada refleksi yang dikonstruksikan-tepatnya diungkapkan-secara perorangan tentang dirinya: karir, usia, atau juga keberadaannya sebagai bagian dari alam, dan juga makhluk sosial dalam konteks hablu minannas. Refleksi menjadi penting sebagai cermin diri, dengan konklusi bahwa setiap tahun berganti, itu bukan bermakna umur bertambah, tetapi justru berkurang. Di kota-kota kaum borjuas berpesta pora dengan berbagai cara. Burkumpul di rumah bersama keluarga, berkerumun di alam terbuka, atau malah melakukan ritual di hotel dan mal-mal. Tradisi menyambut tahun baru atau pergantian tahun atawa apa yang dinamakan dengan “Old and New” seolah menjadi bagian dari budaya dunia. Kaum moralis dan agamawan mengkritik penyambutan tahun Masehi karena kebarat-baratan, dan bukan “adat istiadat” kita, sebab Islam punya tahun Hijriah.

Segelintir mencoba melarangnya. Tapi seperti yang terjadi sejak dua tahun lalu, di sana muncul perlawanan dari publik muda usia. Mereka  tumplek di Blangpadang Banda Aceh pada malam tahun baru 2010, karena lokasi lama di pusat kota “diharamkan”. Perlawanan tersebut  bukti adanya perubahan nilai-nilai dan reintepretasi dalam masyarakat dengan latar universalisme dan pluarisme. Kehidupan tidak bisa dibatasi dengan dogma-dogma lama, tanpa ada argumen dan logika sehat. Imbauan bahwa kita hanya memperingati tahun baru hijriah-1 Muharram-sebagai tahun penanggalan Islam yang dihitung dari perpindahan (hijrah) Muhammad dari Mekkah ke Madinah, memang sebuah peristiwa sejarah sekaligus peristiwa religi. Ketika kita bicara dalam konteks Islam dengan segala ritualismenya kita pun memperingati 1 Muharram dalam tradisi masing-masing.

Di dunia ini berbagai perayaan tahun baru berlangsung. Orang Yahudi memiliki tradisi Rosh Hasanah yang jatuh sebelum tanggal 5 September pada kalender Gregorian. Tahun baru Tiongkok atau Imlek jatuh malam bulan baru pada musim dingin, antara akhir Januari hingga awal Februari, kemudian tahun baru Thailand dirayakan mulai tanggal 13 April hingga 15 April dengan upacara penyiraman air. Di kalangan rakyat Vietnam ada yang disebut dengan Tet Nguyên Dán, yang dirayakan pada hari yang sama dengan Imlek masyarakat Cina. Bagi orang Islam perayaan tahun baru 1 Muharram bukan hanya sarat dengan makna hijrah dan berbagai tafsir filosofisnya. Tetapi juga penuh muatan lokal. Nilai-nilai Islam dibaurkann dengan tradisi setempat tanpa membentur unsur-unsur ketauhidan. Sudah lama perayaan tersebut berlangsung di basis Islam seperti Aceh. Ada yang dilaksanakan pemerintah maupun masyarakat di kampung-kampung diisi  ceramah atau tablik akbar dengan aksesoris lokalnya.

Dari atas mimbar sang dai menguraikan secara kronologis perjalanan Muhammad dan kawan-kawannya dari Mekkah di malam yang gelap untuk menghindari penentangnya-yang sama-sama orang Quraisy. Lalu hijrah juga diberi simbol sebagai perpindahan dari suatu keadaan buruk kepada yang baik. Jika banyak juga orang Islam merayakan 1 Januari, mungkin untuk menjunjung tinggi prinsip-prinsip bahwa Islam sesuai dengan semua zaman. Lantaran kita hidup-hidup di tengah-tengah budaya global yang secara ekonomi, sosial, dan politik tak bisa dipisahkan dari penanggalan umum. Menurut mereka menggunakan hitungan Masehi dalam kepentingan kehidupan masih relevan, maka masih patut dirayakan dalam batas-batas tertentu.

Baru bisa mengabaikan tahun Masehi dan perayaannya, jika kita sudah tidak terikat dengan dunia luar; titak menggunakan bank dengan jadwal dan sistem kerja penanggalan Masehi. Tapi Islam sebagai agama yang rahmatal lil alamin, tetap menghormati nilai-nilai universal dan pluralistik tanpa mengorbankan nilai-nilai hakiki ketauhidan. Ramalan suku Maya yang menggunakan kalender Masehi menyebutkan tahun 2012 dunia ini bakal kiamat. Kita tak perlu cemas, karena itu hanya ramalan. Allah Mahatahu akan segalanya. Besok 1 Januari 2011 Masehi. Kita jangan menghindar dari realitas sejarah dan  kehidupan.

Kata-kata Masehi berasal dari nama Isa Al Masih, nabi yang diakui oleh Islam. Syukur Alhamdulillah, nama tahun ini bukan nama Isa yang diyakini orang Kristen yaitu Yesus Kristus. Selamat tahun baru Masehi, sebuah tonggak kelahiran Isa Alaihissalam, keturunan Nabi Ibrahim Alaihissalam, nabi yang diimani umat Islam. Jadikan dia untuk bercermin diri. Setiap tahun berganti, umur kita semakin berkurang, bukan bertambah!

menyikapi tahun baru

Sang waktu terus berjalan. Tak terasa kita masuki tahun baru 1424 Hijriah. Itu artinya hijrah Rasulullah saw. beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1424 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yg patut dikenang. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan utk sebuah pengorbanan sejati yg mengapresiasikan perlawanan akan kebatilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun. Agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri harta sanak dan handai-taulan tercinta. Dalam Ath-Thabaqat Al-Laits bin Sa’ad mengutip sebuah riwayat dari Ibunda Aisyah r.a. adl Rasulullah saw. bersuka-cita saat jumlah pengikutnya mencapai tujuh puluh orang krn itu artinya Allah telah membuatkan “tameng pertahanan”. Bukan sembarangan mereka terdiri dari kaum profesional di bidang peperangan persenjataan dan pembelaan. Toh permusuhan dan penyiksaan kaum musyrik bertambah gencar dan berat. Bahkan tingkat siksaan dan celaan yg dirasakan sahabat belum pernah dialami sebelumnya. Mereka pun mengadu kepada Rasulullah saw. dan meminta izin utk berhijrah. Pengaduan dan permintaan itu dijawab oleh Rasulullah saw. “Sesungguhnya aku pun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adl Yatsrib. Barangsiapa yg ingin keluar-hijrah- maka hendaklah ia keluar ke Yatsrib.” Para sahabat kemudian hijrah secara bergelombang dan tentu saja dgn sembunyi-sembunyi kecuali Umar bin al-Khattab r.a. Dengan tegas Umar bahkan bersuara lantang “Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya atau istrinya menjadi janda atau anaknya menjadi yatim piatu hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini.” Sebuah tantangan yg antiklimaks krn tak satu pun orang kafir Quraisy yg berani menampakkan batang hidungnya. Tibalah Rasulullah di Yatsrib setelah sebelumnya para sahabatnya lbh dulu sampai. Belia disambut dgn penuh suka cita oleh sahabat Anshar. Yatsrib di kemudian hari diganti namanya menjadi Al-Madinah al-Munawwarah. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam. Makna Hijrah Secara harfiah hijrah artinya berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna hijrah makani dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yg kurang baik menuju yg lbh baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yg kurang baik menuju nilai yg lbh baik dari kebatilan menuju kebenaran dari kekufuran menuju keislaman. Ringkasnya hijrah kepada tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah . Alasannya hijrah fisik adl refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah saw. dan para sahabatnya keMadinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lbh 450 km. Secara maknawi juga jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam. Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yg besar. Hijrah berhubungan erat dgn al-wala’ wal-bara’ . Bal hiya min ahammi takaalifahaa bahkan ia termasuk manifestasi yg paling penting. Penting krn menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yg patut dimusuhi. Dalam sejarah para rasul juga dekat dgn tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yg berujung pada menuju yg lbh baik atas rida Allah. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi semua demi risalah suci. Termasuk hijrah beliau dari Palestina menuju Mekah yg dalam perkembangannya menjadi syariat haji. Adalah Ibrahim a.s. yg baru dikarunia Ismail anak yg selama ini dinanti harus meninggalkan Palestina bersama istrinya Hajar menuju tanah gersang tak bertuan. Di tempat itulah Ibrahim meninggalkan anak dan istrinya dgn hanya dibekali sekantong makanan dan seteko air. Ibnu Katsir menceritakan dalam tafsirnya Saat Nabi Ibrahim hendak berlalu sang istri menarik tali kekang tunggangannya dan bertanya “Apakah Kanda akan meninggalkanku bersama anakmu di tempat yg tiada tanaman lagi tak bertuan?” Ibrahim a.s. terdiam. Hajar mengulangi pertanyaannya hingga tiga kali dan tetap saja Ibrahim diam. Sampai akhirnya Hajar mengganti pertanyaan “Apakah Allah yg memerintahkanmu melakukan hal ini.” “Benar” jawab Ibrahim. Hajar menimpali “Jika demikian Allah tidak akan mempersulit kami.” Sungguh sebuah dialog yg menusuk hati merefleksikan keimanan yg amat dalam sebuah ketundukan sekaligus pengorbanan yg menakjubkan. Terpancar sikap tawakal yg begitu tinggi bahwa hanya Allah Yang Maha Menghidupkan Maha Memberi Rezeki Maha Mematikan. Sempurnalah implementasi hijrah pada diri Ibrahim a.s. dan keluarganya baik secara makani maupun maknawi. Ibrah dari Hijrah Pelajaran yg nyata dari peristiwa hijrah adl sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adl cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang. Secara lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yg barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yg penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan betapa maslahat din menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yg lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran. Ibarat minyak dan air ia tidak akan bisa bertemu karenanya adl sebuah utopia upaya-upaya “mengawinkan” antara nilai Islam dgn civic culture yg bertentangan dgn Islam terlebih jika dilandasi nafsu mendahulukan budaya ketimbang nilai Islam atas nama pluralisme dan humanisme. Pelajaran berikutnya adl perseteruan kebenaran versus kebatilan mengharuskan manusia memilih salah satu di antara keduanya tidak ada sikap “non-blok”. Allah SWT berfirman yg artinya “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yg ragu-ragu.” . Untuk menangkap spirit hijrah lbh jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya berpindah dari yg semula tidak sesuai dgn tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yg sesuai dgn tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati tiapmuslim utk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat Islam secara umum akan lbh baik dari sekarang. Seorang koruptor akan berhenti dari korupsinya para preman akan menghentikan aksi bromocorahnya tidak ada lagimuslim penimbun orang miskin akan bersuka cita krn kucuran infak para dermawan. Para dai berhenti bersengketa antar mereka dalam urusan yg kurang prinsip dan seterusnya. Lantas mengapa kenyataannya tidak demikian? Barangkali krn kita kurang menghayati dan mengamalkan arti hijrah sebagaimana mestinya. Wallahu a’lam. . Referensi 1. Tafsir Al-Qur’an al-Azhim Ibnu Katsir2. Al-Wala’ wal-Bara’ fil-Islam Muhammad Sa’id al-Qahthani3. Fiqhus-Sirah Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi Al-Islam - Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia
sumber file al_islam.chm